Selasa, 15 November 2011

Musik Media Menghujat dan Memuja Penguasa

Kelanggengan kekuasaan para pemimpin negara juga secara tidak langsung mendapat dukungan dari pekerja seni khususnya di dunia musik. Kita masih ingat betapa kekuasaan Presiden Soeharto selama 32 tahun dibuai oleh lagu "Terima Kasih Bapak Presiden Soeharto" yang dibawakan Titik Puspa. Lagu tersebut menghiasi siaran televisi tatkala penguasa Orde Baru itu menduduki jabatan presiden untuk kesekian kalinya.
Namun Soeharto mungkin gerah dengan lagu-lagu yang dianggapnya menyindir atau menghujat kekuasaannya. Sehingga beberapa artis penyanyi termasuk lagu-lagunya harus menerima perlakuan mirip orang yang terkena cekal. Lagu "Bento" milik Swami yang ditarik suarakan Iwan Fals dicurigai sebagai lagu yang menyindir kekuasaan orde baru. Namun dalam sebuah wawancara dengan media cetak ibukota yang telah almarhum, Iwan Fals hanya bisa tersenyum mendengar pertanyaan wartawan soal multi tafsir lagu "Bento". Sebelumnya Harry Roesli bersama Philoshophy Gang pada tahun 1973 pernah membuat sebuah lagu bernuansa kritik terhadap kondisi negara ini melalui lagu "Peacock Dog". Lirik lagu yang diselimuti warna musik progesif rock khas Gentle Giant itu menggambarkan bahwa negara ini memang indah mirip "Peacock" (burung merak) tetapi juga menyebalkan mirip "dog" (anjing). Kritik yang dilontarkan Kang Harry melalui album-albumnya terus bergulir misalnya pada album Titik Api (1976), Opera Ken Arok (1977), hingga sebelum wafat tahun 2004 musisi bertubuh subur itu pernah berurusan dengan pihak berwajib lantaran mengganti syair lagu "Garuda Pancasila" menjadi lirik yang bernada kritik terhadap pemerintah.
Selain Harry Roesli, nama musisi/ penyanyi Mogi Darusalam juga pernah merilis album bernuansa kritik  misalnya pada album Aje Gile (1978). Namun namanya memang tidak setenar Iwan Fals dan Harry Roesli. Toh, karena suka menghujat dan menyindir pemerintah pada masa itu, nama Iwan Fals, Harry Roesli, termasuk Mogi Darusalam seperti ditenggelamkan dari muka publik. Album-album mereka meluncur seolah tanpa promosi. Namun hebatnya khusus untuk album-album Iwan Fals tetap laku diburu penggemarnya dan musisi yang pernah menjadi penyanyi jalanan itu terpacu merilis album-albumnya ke masyarakat.
Anti Nasionalis
Pada masa pemerintahan Orde Lama, jarang sekali ada musisi atau penyanyi yang membuat gerah penguasa. Penguasa saat itu gerah dengan maraknya musisi muda memainkan musik-musik khas kapitalis seperti yang dibawakan group The Beatles dan sejenisnya. Akibatnya, musisi atau oenyanyi yang melanggar larangan pemerintah akan dicap anti nasionalis dan tentu saja dijebloskan kerumah tahanan. Kasus yang menimpa grup Koes Bersaudara menjadi buki ketidaksukaan pemerintahan terhadap musik-musik kapitalis. Dan lain pihak, musisi/penyanyi lain misalnya Bing Slamet atau Lilies Suryani cenderung membawakan lagu-lagu bernuansa etnis. Kemungkinan saat itu memang belom aman membawakan lagu-lagu beraroma kapitalis. Simak saja bagaimana Bing Slamet membawakan lagu "Nurlela" dalam hentakan irama pop melayau. sedangkan Lilies Suryani bak seorang Titik Puspa di masa orba. Dia membawakan lagu sebagai bentuk tribute to Presiden Soekarno lewat lagu "Oentoek PJM Presiden Soekarno ". Keitka berganti ke orde baru, gelombang musik kapitalis mulai merambah gaya hidup masyarakat kita. Koes Bersaudara yang telah berganti formasi dan berubah nama menjadi Koes Plus kemudian merilis lagu-lagu yang seolah-olah mendukung aktifitas orde baru.
Mimpi Masyarakat
Ketika masa Orba mulai runtuh, masyarakat mulai memimpikan sosok presiden yang pro rakyat. Namun kalangan musisi yang tergabung dalam Kantata Revovere melalui album berjudul sama tahun 1999, menyangsikan mimpi masyarakat itu bisa terwujud. Lewat lagu "partai bonek" yang meledek dengan bahasa beraroma humor mulai dari sebutan presiden partai bonek sampai presiden tidak punya rakyat (maksudnya presiden yang tidak disukai rakyat). Musiknya pun digarap dalam hentakan rock n roll up tempi ala The Rolling Stones. Sementara kantata Revolvere yang digawangi Setiawan Jodi dan kawan-kawan meledek melalui lagu "Partai Bonek, maka Odie Agam, komposer terkenal di era 1980an  menyajikan lagu bernuansa pop lewat lagu "Ingin Jadi Presiden" (1999). Slank dan Jamrud justru lebih menguraikan lagu tentang presiden menjadi sebuah lirik yang rada nakal. Slank menulis lrik lagu berjudul "Kalau Aku Jadi Presiden" dalam kemasan musik ritmis akustik, dnegan bahasa yang hampir mirip dengan lirik lagu "Cuma Khayalannya" Opie Andarista (1993). Perbedaannya, lirik lagu Slank berisi harapan agar ada orang atau mungkin mereka dapat menguasai salah satu aset yang berguna bagi rakyat banyak. Grup Jamrud dalam lagu terbaru berjudul "Mimpi Jadi Presiden", masih menawarkan lirik lagu yang lebih tergas, keras, sama halnya ketika mereka merilis lagu non kritik pemerintah berjudul "putri". "Mimpi Menjadi Presiden" menggambarkan gerangnya kekuasaan seorang presiden yang selalu menghabisi karir sampai nyawa orang-orang yang bersebrangan dagannya.


Referensi : Nugroho Wahyu Utomo (sound up)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar